Senin, September 30, 2013
0


1.         PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI PANCASILA

Menurut Prof. Dardjo Darmodihardjo, demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945.

Adapun prinsip-prinsipnya menyangkut : 

a.         Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

b.         Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

c.         Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain.

d.         Mewujudkan rasa keadilan sosial.

e.         Pengambilan keputusan dan musyawarah.

f.          Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan.

g.         Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

  

2.         PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA


a.         Demokrasi Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) 

Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi politik di Indonesia. Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang terbatas pada komitmen tetapi juga merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan. Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan baru terbatas pada interaksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Partai-partai politik tumbuh dan berkembang dengan cepat. Tetapi fungsinya yang paling utama adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan, dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara, serta menanamkan semangat  anti imperialisme dan kolonialisme. Pemilihan umum  yang sangat terbatas sifatnya baru dijalankan di beberapa wilayah negara, misalnya DIY dan Sulawesi Utara.

b.         Demokrasi Parlementer (1950-1959) 

Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua parlemen demokrasi dapat kita temukan dalam perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.  

Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.

Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisasi pada umumnya sangat tinggi. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode merupakan contoh konkrit dari tingginya akuntabilitas tersebut.  

Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.  Dalam periode ini Indonesia menganut sistem banyak partai terbukti dengan ada hampir 40 partai politik dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekruitmen, baik pengurus maupun pimpinan partainya maupun para pengikutnya.  

Keempat, sekalipun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada tahun 1955 tetapi pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetensi antara partai politik berjalan dengan sangat intensif. Partai-partai politik dapat melakukan nominasi calonnya dengan bebas, kampanye dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, dalam rangka mencari dukungan yang kuat dari masyarakat umum. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas tanpa ada tekanan atau rasa takut. 

Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul dapat diwujudkan dengan jelas, dengan terbentuknya sejumlah partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum (voters assosiation). Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan ekonomi yang seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Daerah-daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan aspirasi yang berkembang di daerah tersebut termasuk di dalamnya kewenangan untuk mengisi hambatan lokal yang sesuai dengan kondisi politik lokal.

c.         Demokrasi Terpimpin (1959-1965) 

Sejak berakhirnya pemilihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukan gejala ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Pada saat itu Soekarno juga menekankan bagaimana besarnya peranan pemimpin dalam proses politik yang berjalan dalam masyarakat kita. Soekarno kemudian juga mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk Partai Komunis Indonesia yang selama ini tidak pernah terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal sebagai “Konsepsi Presiden”. Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan PSI.

Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain mucul secara hampir bersamaan.     Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semakin memburuk. Sejumlah perwira Angkatan Darat di daerah-daerah membentuk misalnya Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Dewan Gadjah di Sumatra yang kemudian mengambil alih pemerintahan sipil. Semuanya itu kemudian mencapai puncaknya dengan terjadinya pemberontakan daerah yang di pelopori oleh PRRI dan Permesta.              Kedua, Dewan Konstituante ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok lain yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. 

Demokrasi tepimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi parlementer. Apa yang disebut dengan demokrasi tidak lain merupakan perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia. Adapun karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah : 

1)         Mengaburnya sistem kepartaian.

2)         Dengan terbentuknya DPR-GR, peranan lembaga legislatif  dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah.

3)         Basic Human Rights menjadi sangat lemah.

4)         Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers.

5)         Sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah.

6)         Demokrasi Pancasila (1965-1998)


Landasan formal dari periode ini ialah pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta ketetapan-ketetapan MPRS.


Perkembangan Orde Baru yang menggantikan Orde Lama menunjukan peranan Presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan Presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G30S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan SUPERSEMAR memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia. Setatus ini menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden berikutnya menggantikan Presiden Soekarno.

Sejumlah indikator  yang ada pada masa Orde Baru, yang oleh masyarakat, baik dari kalangan pemerintah, Angkatan Bersenjata, para politisi, bahkan akademisi, disebut dengan label Demokrasi Pancasila, meliputi:

1)         Rotasi kekuasaan,

2)         Rekruitmen politik tertutup,

3)         Pemilihan umum,

4)         Basic human rights.


Pada masa Demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.   Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Pemilihan umum di Indonesia sejak 1971 dibuat sedemikian rupa, agar Golkar memenangkan pemilihan dengan mayoritas mutlak. Sehingga Golkar kemudian menjadi satu partai hegemonik (Afan Gaffar, 1988). Partai-partai politik non pemerintah sama sekali tidak mampu mempunyai peluang untuk memenangkan pemilihan, karena kompetisi antara Golkar dengan partai politik yang lainnya dibuat tidak seimbang. 

Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni para penguasa baik di pusat maupun di daerah. Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Orde Baru yang disusul oleh munculnya Reformasi.

d.         Masa Reformasi (1998- sekarang)


Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi. Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. Pada masa pemerintahan Habibie terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwi fungsi ABRI sehingga fungsi sosial politik ABRI dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.


Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam 4 tahap selama 4 tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semenjak itu semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui Pilkada.

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tombak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, dan DPRD.

3.         PERAN WARGA NEGARA DALAM MENGATASI MASALAH-MASALAH KONTEMPORER

Peran warga negara dalam ikut serta mengatasi masalah-masalah kontemporer adalah sejalan dengan managemen dalam masyarakat demokratis. Dalam masyarakat demokratis peran warga negara adalah berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat /pemerintahnya (social participation), memberikan dukungan terhadap pemerintah (social support), melakukan kontrol terhadap pemerintah (social control), dan meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat (social responsibility). 

Peran warga negara dalam mengatasi masalah-masalah kontemporer agar produktif atau efektif tidaklah bersifat destruktif tetapi bersifat konstruktif. Warga negara yang ideal memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan secara mandiri, sehingga ketergantungan kepada pemerintah semakin kecil. Apabila hal ini yang dikembangkan, maka upaya pengembangan civil society (masyarakat kewargaan) akan semakin efektif. 

Wujud dari peran warga negara yang lain, pemilu. Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Hal ini bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk duduk di dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, membentuk pemerintahan, melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui pemilihan umum itu adalah berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

0 comments:

Posting Komentar