1. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI PANCASILA
Menurut Prof. Dardjo Darmodihardjo, demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada
kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti
dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945.
Adapun
prinsip-prinsipnya menyangkut :
a. Persamaan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
c. Pelaksanaan
kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, dan orang lain.
d. Mewujudkan
rasa keadilan sosial.
e. Pengambilan
keputusan dan musyawarah.
f. Mengutamakan
persatuan nasional dan kekeluargaan.
g. Menjunjung
tinggi tujuan dan cita-cita nasional.
2. PERKEMBANGAN
DEMOKRASI DI INDONESIA
a. Demokrasi Pemerintahan Masa
Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)
Para
penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan mempunyai komitmen yang
sangat besar dalam mewujudkan demokrasi politik di Indonesia. Mereka percaya
bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang terbatas pada komitmen tetapi juga
merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan. Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan
revolusi kemerdekaan baru terbatas pada interaksi politik di parlemen dan
berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Partai-partai politik
tumbuh dan berkembang dengan cepat. Tetapi fungsinya yang paling utama adalah
ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan, dengan menanamkan kesadaran untuk
bernegara, serta menanamkan semangat anti imperialisme dan kolonialisme.
Pemilihan umum yang sangat terbatas sifatnya baru dijalankan di beberapa
wilayah negara, misalnya DIY dan Sulawesi Utara.
b. Demokrasi Parlementer
(1950-1959)
Masa
demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena
hampir semua parlemen demokrasi dapat kita temukan dalam perwujudannya dalam
kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang
berjalan.
Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan
politisasi pada umumnya sangat tinggi. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam
periode merupakan contoh konkrit dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga, kehidupan kepartaian boleh
dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara
maksimal. Dalam periode ini Indonesia
menganut sistem banyak partai terbukti dengan ada hampir 40 partai politik
dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekruitmen, baik
pengurus maupun pimpinan partainya maupun para pengikutnya.
Keempat, sekalipun pemilihan umum hanya
dilaksanakan satu kali yaitu pada tahun 1955 tetapi pemilihan umum tersebut
benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetensi antara partai
politik berjalan dengan sangat intensif. Partai-partai politik dapat melakukan
nominasi calonnya dengan bebas, kampanye dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab, dalam rangka mencari dukungan yang kuat dari masyarakat umum. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah, setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya
dengan bebas tanpa ada tekanan atau rasa takut.
Kelima, masyarakat pada umumnya dapat
merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun
tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk
berserikat dan berkumpul dapat diwujudkan dengan jelas, dengan terbentuknya
sejumlah partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum (voters
assosiation). Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah
memperoleh otonomi yang cukup bahkan ekonomi yang seluas-luasnya dengan asas
desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan
kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Daerah-daerah
diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
aspirasi yang berkembang di daerah tersebut termasuk di dalamnya kewenangan
untuk mengisi hambatan lokal yang sesuai dengan kondisi politik lokal.
c. Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Sejak
berakhirnya pemilihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukan gejala
ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Ciri-ciri periode ini ialah
dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai, berkembangnya pengaruh
komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Pada saat itu
Soekarno juga menekankan bagaimana besarnya peranan pemimpin dalam proses
politik yang berjalan dalam masyarakat kita. Soekarno kemudian juga
mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang
melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk Partai Komunis Indonesia
yang selama ini tidak pernah terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet. Untuk
mewujudkan gagasan tersebut, soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal sebagai
“Konsepsi Presiden”. Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat
tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan
PSI.
Pada saat
yang sama, sejumlah faktor lain mucul secara hampir bersamaan. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah semakin memburuk. Sejumlah perwira Angkatan Darat di
daerah-daerah membentuk misalnya Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Dewan Gadjah
di Sumatra yang kemudian mengambil alih pemerintahan sipil. Semuanya itu
kemudian mencapai puncaknya dengan terjadinya pemberontakan daerah yang di
pelopori oleh PRRI dan Permesta. Kedua, Dewan Konstituante ternyata
mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi
nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu
kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok lain yang
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara.
Demokrasi
tepimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa
demokrasi parlementer. Apa yang disebut dengan demokrasi tidak lain merupakan
perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan dirinya sebagai
satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia. Adapun karakteristik
yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah :
1) Mengaburnya
sistem kepartaian.
2) Dengan
terbentuknya DPR-GR, peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional
menjadi sedemikian lemah.
3) Basic Human Rights menjadi sangat lemah.
4) Masa
Demokrasi Terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers.
5) Sentralisasi
kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah Pusat dengan
pemerintah Daerah.
6) Demokrasi
Pancasila (1965-1998)
Landasan formal dari periode ini ialah pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta
ketetapan-ketetapan MPRS.
Perkembangan Orde Baru yang
menggantikan Orde Lama menunjukan peranan Presiden yang semakin besar. Secara
lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan Presiden karena Presiden
Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem
politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem
presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia.
Keberhasilan memimpin penumpasan G30S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan
menggunakan SUPERSEMAR memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk
tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia. Setatus ini
menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden berikutnya menggantikan Presiden
Soekarno.
Sejumlah indikator yang ada
pada masa Orde Baru, yang oleh masyarakat, baik dari kalangan pemerintah,
Angkatan Bersenjata, para politisi, bahkan akademisi, disebut dengan label Demokrasi
Pancasila, meliputi:
1) Rotasi
kekuasaan,
2) Rekruitmen
politik tertutup,
3) Pemilihan
umum,
4) Basic human rights.
Pada masa
Demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu.
Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode
tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Namun
ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut
karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan
yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu.
Pemilihan umum di Indonesia sejak 1971 dibuat sedemikian rupa, agar Golkar
memenangkan pemilihan dengan mayoritas mutlak. Sehingga Golkar kemudian menjadi
satu partai hegemonik (Afan Gaffar, 1988). Partai-partai politik non pemerintah
sama sekali tidak mampu mempunyai peluang untuk memenangkan pemilihan, karena
kompetisi antara Golkar dengan partai politik yang lainnya dibuat tidak
seimbang.
Keberhasilan
pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada
pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah
itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan
pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai
peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni
para penguasa baik di pusat maupun di daerah. Akibat dari semua ini adalah
semakin menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde
Baru. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya
masa Orde Baru yang disusul oleh munculnya Reformasi.
d. Masa Reformasi (1998-
sekarang)
Tumbangnya
Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di
Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa
pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan
rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan
demokratisasi. Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk
menggantikan presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan
memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu
langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan
melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. Pada masa pemerintahan
Habibie terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan
dwi fungsi ABRI sehingga fungsi sosial politik ABRI dihilangkan. Fungsi
pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi
internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan
dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
hasil Pemilu 1999 dalam 4 tahap selama 4 tahun (1999-2002). Beberapa perubahan
penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan
umum untuk memilih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semenjak itu semua kepala daerah
yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui Pilkada.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan
pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tombak sejarah politik penting
dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil
presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, dan DPRD.
3. PERAN
WARGA NEGARA DALAM MENGATASI MASALAH-MASALAH KONTEMPORER
Peran warga negara dalam ikut serta mengatasi
masalah-masalah kontemporer adalah sejalan dengan managemen dalam masyarakat
demokratis. Dalam masyarakat demokratis peran warga negara adalah
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat /pemerintahnya (social
participation), memberikan dukungan terhadap pemerintah (social support),
melakukan kontrol terhadap pemerintah (social control), dan meminta
pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat (social responsibility).
Peran warga negara dalam mengatasi masalah-masalah
kontemporer agar produktif atau efektif tidaklah bersifat destruktif tetapi
bersifat konstruktif. Warga negara yang ideal memiliki kemampuan untuk
mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan secara mandiri, sehingga
ketergantungan kepada pemerintah semakin kecil. Apabila hal ini yang
dikembangkan, maka upaya pengembangan civil society (masyarakat kewargaan) akan
semakin efektif.
Wujud dari peran warga negara yang lain, pemilu.
Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan
negara yang berkedaulatan rakyat. Hal ini bertujuan untuk memilih wakil rakyat
untuk duduk di dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, membentuk
pemerintahan, melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan
keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan negara yang dibentuk
melalui pemilihan umum itu adalah berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan
kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Pemilihan umum
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil,
langsung, umum, bebas, dan rahasia.
0 comments:
Posting Komentar